Laman

Selasa, 04 Juni 2013

Baktinya Pada Mama



Suatu siang Indah pulang sekolah  lebih awal, aku kaget.

“ Mba kenapa sudah pulang?”. Tanyaku 

“ Indah ingat mama terus di sekolah, siapa yang nemenin mama, siapa nanti yang nyuapin mama kalau mau makan, apalgi kalau mau ke kamar mandi “ ujarnya sambil duduk disampingku yang tergeletak lemah di tempat tidur.


Aku tak kuasa menahan haru, air mata mengalir begitu saja. Kupegang tangannya, dia balik memegang tanganku . Tidak ada yang bicara, namun hati kami bicara banyak. Sentuhan-sentuhan tangan kami lebih banyak mengungkapkan perasaan kami. Indah terus saja mengelus ngelus dan mengurut kaki dan tanganku yang sudah tiga hari tidak dapat kugerakkan. 

Aku benar –benar lumpuh. Jangankan untuk berjalan , untuk memegang kancing baju saja aku perlu pertolongan orang lain. Hal inilah yang mengganggu pikiran Indah pastinya di sekolah. Dia melihat , bagaimana pagi –pagi  aku di bantu ayahnya memakai baju, mengancingkannnya, menyisir rambutku. Alasan inilah dia meminta ijin kepada gurunya untuk pulang.

Aku ingat betul kejadian di mana aku lumpuh tersebut tepat di tahun 2000, kelakuan Indah mengingatkan aku kepada Mimi almarhum. 

Ketika beliau masih hidup, tepatnya saat saat beliau memasuki usia ujur dan ingatannnya menurun, aku selalu menghabiskan waktu libur sekolah bersama suami dan anak-anak  untuk menemani beliau dan merawatnya. 

Beliau tinggal bersama kedua adik yang dulu masih gadis. Aku selalu mengoptimalkan masa liburan sekolah  untuk merawatnya. Menyuapinya makan, menyisir rambutnya bila sudah selesai aku mandikan. Saat itulah mungkin  Indah melihatnya dan menyimpan kenangan itu dalam memorinya. Karena saat itu usia Indah sekitar delapan tahun. Dan saat mamanya sakit memori itu mungkin muncul. Dan dia lakukan pada mamanya.


Ketika beranjak gadis dan sudah kuliah, Indahpun dengan telatennya mengurut dan menyuapiku bila aku sakit. Dengan tangannnya yang lentik dia usap-usap kaki dan badanku sambil mulutnya tak berhenti bercerita
.
“Ya Allah hamba  Yakin Engkau akan menyayangi anakku, Engkau akan berikan keberkahan Hidupnya kelak, karena Engkau sayang pada hambamu yang menyayangi bundanya “ batinku berdoa manakala dia sedang merawatku

Suatu Sore di Bulan Ramadhan



Aku dan suami sedang sholat magrib. Sholat kami memasuki tahap duduk  diantara dua sujud, manakala sebuah suara teriakan penuh ketakutan dari seorang gadis cilik terdengar dari arah depan rumah.Suara itu jelas, sebuah teriak ketakutan. Aku jadi ketakutan  manakala tiba- tiba aku ingat Puteri kami Indah. Yah Indah saat aku  tinggalkan untuk sholat magrib dia asyik bermain kembang api. Ah Indah.....ada apa?

Aku begitu yakin sekali, suara teriakan itu teriakan  Indah. langsung kubuka mukena. Aku tidak menyelesaikan sampai tuntas sholat magrib begitu juga dengan suami, kami  langsung berlari kearah ruang tamu. 

Ya Allah Ya Tuhan!!!, Kulihat Indah sedang berusaha mematikan api yang membakar bajunya sambil berteriak- teriak. 

Aku dan ayahnya langsung menolong mematikan api itu. Alhamdulillah selang beberapa menit api itu mati dengan meninggalkan bekas di  baju bagian bawahnya. Aku langsung sujud syukur, ku tak bisa bayangkan dan tidak mau membayangkan bila kami terlambat  datang menolongnya. Walaupun mengorbankan sholat kami yang tidak selesai

 " ya Allah ampuni hamba ". batin ku berbisik. . Aku yakin Allah Maha Pengampun, Maha bijaksana, dan Maha Tahu. Kupeluk Indah erat-erat. Sambil tak habis –habisnya mulutku mengucapkan syukur Alhamdulilllah. 

Masih dengan badan yang lemah karena kaget, Aku dan suami  mengulangi sholat magrib yang tadi kami batalkan. Kami akhiri dengan zikir dan sujud syukur sebagai rasa syukur dan mohon ampunan pada-NYA, Allah  telah menolong anak kami, dengan memberikan reflek pada kami untuk berhenti sholat. Entah apakah tindakan kami  salah atau tidak membatalkan sholat, yang kutahu, Allah Maha Pemurah, Allah Maha Pengasih, Allah Maha Tahu apa yang dilakukan hamba-NYA dan

 “ Bukakankah Allah itu Hakim Yang Paling Adil ?” QS : At Tin : 8

Senin, 03 Juni 2013

Namanya Terinspirasi Penyiar TV






Ada latar belakang kenapa aku memberinya nama Riza Satria Wirawan. Nama depan Riza di ilhami dari nama seorang penyiar laki laki SCTV Riza Primadi. Setiap hari wajahnya selalu muncul membawakan acara, dia  begitu cerdas, terlihat dari caranya mewawancarai bintang tamu. Aku dan suami sama–sama menyenanginya.  


Sedangkan nama Satria, kami  mempunyai harapan agar kelak menjadi manusia yang memiliki sifat yang ksatria. Sedangkan Wirawan mengikuti nama belakang kakak-kakaknya yang semua menggunakan nama Wirawan.Wirawan di belakang nama mereka, bukan diambil nama dari ayahnya seperti lazimnya orang memberi nama. Tetapi ayahnya mempunya maksud dengan menambahkan nama Wirawan dibelakang nama mereka, diharapkan nanti mereka  akan tumbuh menjadi anak –anak yang mandiri, bisa berdiri sendiri dan tidak cengeng sebagaimana seorang “Perwira”

Riza lahir tepat pada bulam Maret tanggal 28 tahun 1997. Berbeda dengan kakak-kakaknya Riza lahir tidak di rumah sakit, melainkan di rumah. Bidan sengaja aku datangkan. Bidan Istiqomah yang saat itu masih tinggal di perumahan Istana Cipanas. Selain itu aku panggil juga ma Paraji Ma Jumriah namya . Paraji istilah bahasa sunda untuk dukun beranak. Entah kenapa aku  begitu berani untuk melahirkan di rumah. Apakah karena aku  melihat rekan-rekanku ada yang melahirkan dirumah dan tidak ada kendala apa-apa? entahlah. yang jelas aku merasakan pengalaman yang berbeda. Aku  begitu tenang, dan tidak asing dengan lingkungan. Inilah mungkin yang mebuat kelahiran ketigaku  lancar dan aku tidak banyak mendapat jahitan. Hanya dua jahitan tidak seperti terdahulu sewaktu melahirkan anak-anak yang pertama dan kedua empat jahitan. 


Masa Kecil Riza
Rizalah yang  tidak merasakan bagaimana kasih sayang dari almauhum/ah  nenek dan kakeknya serta mbah Uti. Dia seluruhnya hasil asuhan aku dan suami.


Dia lahir disaat ekonomi kami sudah mulai membaik. Kami tidak lagi tinggal di rumah kontrakan. Namun sebuah rumah mungil berhasil telah kami miliki, walaupun dengan lingkungan yang tidak bisa dibilang baik. Dalam arti, tempat tinggal kami saling berdekatan satu dengan lainnnya, hanya dipisahkan jarak maksimal satu meter dengan. Kami membeli rumah dengan lingkungan yang demikian karena alasan murah dari pada kami mengontrak dengan tekad hanya sementara, kalau ada rezeki kami harus pindah.  

Masa balita Riza tidak bisa kuceritakan disini, ada kenangan pahit dengan pengasuhnya. Aku tak akan kuat dan tak akan mau mengingat itu, biarlah aku kubur dalam dalam. Hanya pengalaman tersebut menjadikan masukan yang  selalu aku pesankan kepada rekan-rekanku sesama guru di sekolah untuk hati-hati bila anak mereka menangis dengan stresnya bila akan diasuh oleh pengasuhnya pasti ada sesuatu jangan dilanjutkan



Anak Bungsuku Yang Tidak Disebut Dede Lagi






“Ma Dede mau main, mau kencan mah “  Katanya suatu Minggu. Belum sempat aku jawab dia sudah berujar lagi.

“ Ma Dede tu sudah gede, bukan anak kecil lagi”. Katanya sambil memperagkan olah tubuhnya yang saat itu mengenakan  celana jeans lengkap dengan jaketnya. Sepertinya  Dia ingin menunjukan  kalau kini dia  bukan anak kecil lagi. Tapi Riza yang sudah memasuki usia remaja. 

Aku bukannnya menjawab pamit  Riza, namun yang ada,  aku perhatikan dirinya dari bawah sampai atas. Ya Allah aku seolah baru menyadari, ada banyak perubahan pada dirinya. Kini dia mulai tinggi, muka dan tubuhnya bersih, suaranya agak berbeda dan yang lebih kaget lagi dia mulai berani untuk pamit bertemu dengan seseorang. Seseorang yang tentunya memiliki tempat khusus di hatinya. 


Sebenarnya aku sudah tahu, kalau dia sudah mulai menaruh rasa pada teman lawan  jenisnya. Dari sejak SD pun aku sudah mulai menggoda dia kalau ada sms dari teman perempuan. Aku memang berusaha untuk selalu masuk kedunia anak-anakku dengan  berusaha untuk menganggap biasa kalau ada sms masuk kemereka. Aku berusaha untuk tidak kaget dan bersikap wajar kalau memang hal itu harus mereka lalui. Mungkin sikapku ini yang akhirnya semua anakkku tidak terkecuali Riza tidak malu untuk mengatakan  kalau mereka sedang dekat atau jatuh cinta pada teman prempuannnya. Hal ini kulakukan agar aku bisa menjalin komunikasi dengan mereka. Aku masuki dunia mereka, kemudian dari ngobrol itulah aku berusaha untuk tahu sampai dimana pergaulan mereka, dan kumasukan nilai nilai yang harus mereka taati. 

Namun ketika Riza pamit untuk main dengan pacarnya, yang aku juga sudah tahu nama dan orangnya karena selalu kuikuti status –satus mereka di Fb aku tersentak dan tidak percaya. Aku kira kedekatan mereka sebatas sms seperti yang biasa dia lakukan. Aku tersadar Riza kini bukan dede yang kecil tetapi dede yang dalam hatinya telah tumbuh jiwa seorang laki laki. Riza yang kini kelas sembilan  sedanng melalui masa menuju pencarian jati diri, pubertas istilah ilmu jiwanya 

“ Mau kemana De?, “ Kataku  masih dalam ketidak percayaan

“ Ya mau jalan jalan ma, “ 

“Tapi awas lho De, jangan berdua- duaan, soalnya yang ketiganya shetan.” . Kataku berusaha untuk menanamkan nilai nilai agama. 

“Ya iyalah ma, Dede juga ngerti, “. Jawabnya penuh dengan keyakinan.

Ada kelegaan mendengar jawabannnya. Sebenarnya ada dilema kurasakan ketika dia pamit, antara mengizinkan dan melarang. Namun kalau kularang aku takut dia merasa tidak dibei kepercayaan. Bagus dia pamit, dan tidak mencuri curi. Ya aku harus memberi kepercayaan, dengan tetap kutanamkan nilai yang harus dia pegang. Aku harus pertahankan keterbukaan dia padaku, dengan memberikan ijin padanya. 



Sebenarnya keterbukaan Riza tentang semua hal bukan hanya padaku dia lakukan. Terhadap ayahnya juga 

“ Ma tahu ga Riza ngomong ke ayah begini” kata ayahnya pada suatu kesempatan 

“ Yah kan Dede kasih siverquin sama dia, rasanya deg degan deh ya, apa ini yang dinamakan cinta ? “ kata suamiku mengulangi perkataan Riza padanya yang kusambut dengan gelak tawa
.
“ayah dengernya sampe pengen ketawa, ma “ ujarnya lagi. 

Jangankan ayahnya yang langsung mendengar perkataannnya, aku saja yang mendengar ceritanya tidak bisa menahan tawaku.

Dari kejadian itu, aku mulai merubah imegeku padanya. Aku harus perlakuka dia layaknya anak sudah dewasa, aku harus hati-hati aku tidak boleh melihat Riza yang dulu adalah anak kecil, tapi Riza kini Riza yang sudah mulai mengerti bahwa dia seorang laki-laki. 

“ De, dede sudah mimpi belum ?, kalau sudah mimpi kasih tahu mama lho biar mama ingatkan cara mandinya., kalau sudah mimpi iitu artinya dede ga boleh tinggalkan sholat. Kamu sudah wajib hukumnya.   “ . Tanyaku pada suatu hari. 

“ya iya ma, nanti dede kasih tahu, tapi dede belum mimpi”. Katanya. Dia sudah tahu arah pertanyaanku.

 Mimpi disini adalah mimpi yang memnunjukan bahwa seorang laki-laki sudah akil baligh.  dia sudah tahu. Karena aku sudah mulai cerita sewaktu dia kleas satu SMP melaui pengalaman  Indra kakaknya. sewaktu mimpi basah cerita padaku dan aku mengingatkan kembali bagaimana cara mandinya. Ya aku memang membiasakan untuk hal itu tidak tabu untuk dibicarakan. Apakah ini pendididkan sex ? mungkin juga. Yang jelas niatku adalah aku tidak mau ketinggalan perkembangan mereka, aku berusa untuk menanamkan nilai agama melalui kominikasi dengan mereka, tidak kecuali dengan Riza.