Laman

Senin, 13 Mei 2013

TIGA HARI MENJELANG LIMA PULUH

Hari ini tiga belas  Oktober dua ribu dua belas. Itu  artinya lima puluh tahun lebih dua hari  usiaku. Seperti  tahun-tahun lalu, kusikapi biasa biasa saja. Tidak ada yang luar biasa. Kalau ada itu kesadaran diri kalau usia telah berkurang. Namun, nyatanya tidak bagi suami. Di usia  yang tidak muda lagi, dia menghadiahiku sesuatu yang amat kusuka. Sesesuatu yang akrab dengan kebiasaan  kumenulis. Sebuah  Notebook.


  
Dulu, 35 tahun yang lalu, tak pernah terlintas  aku akan menulis pada sebuah laptop. Impianku waktu itu adalah,  betapa bahagianya kalau memiliki mesin tik. Ternyata Subhanallah, bukan mesin tik yang kumiliki, namun sebuah notebook, notebook yang dibeli suami untukku. Mungkin alasan dia menghadiahi benda tersebut karena sudah beberapa hari ini aku selalu menghabiskan  waktu di depan laptopnya; itu artinya aku membutuhkan barang itu.

Entah apa yang ada dalam hatinya ketika setiap waktu dia lihat aku  memakai laptopnya. Yang pasti ada sesuatu yang menggerakkan dirinya untuk menghadiahkan aku  sebuah notebook. Notebook yang tentunya akan menjadi milik pribadiku, notebook yang laksana buku harian. Dan saat kulanjutkan tulisan inipun,  aku sudah memakai notebook hadiahnya. aku yakin,  dia beli dengan  sebuah rasa cinta yang besar. Sebuah karunia Allah yang membuat aku malu tuk berkeluh kesah pada -NYA, “Nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan ?” 

Terkadang batinku bertanya. “Salahkah diusiaku ini yang sudah tidak muda lagi  kuhabiskan waktuku dengan kegiatan seperti ini?, membuat tulisan tentang diri, tentang suami, tentang anak-anak, tentang murid-muridku ?“.





 Tulisannya sengaja  kuformat dengan memasukan foto-foto yang ada. Atau kubentuk power point, kuselipkan  musik agar bisa lebih hidup lagi.. bersamaan itu  suasana lain muncul, suasana yang menimbulkan kerinduan yang sangat. Dan kalau sudah demikian air mata tak bisa kutahan, namun bersamaan itu muncul pula  rasa lain tentang  kesadaran diri, ku tak boleh lengah dari beribadah kepada Tuhan  karena kegiatan ini, kutak boleh lupa akan jati diri. Makhluk yang lemah, mahluk yang doif

 
mahluk yang harus selalu ingat, bahwa ada Allah Sang Pencipta, Allah yang maha Agung, yang maha Lembut, Allah yang Maha Hidup, Allah yang Maha Indah, Allah Maha Pembentuk, Allah Maha  Pembuka, Allah yang Maha segalanya. Untuk itu kuluruskan niat menulis. Aku jadikan ini lahanku untuk bertafakur, untuk menghayati, merasakan,  betapa Rahman dan Rahimnnya Allah, betapa Karunia Allah begitu besar, tak terhitung “ Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan 



 Dan malam ini, aku nikmati sepinya malam dengan mengetik melalui notebook hadiahnya diatas peraduan. Sementara di sampingku, dia terlelap dalam mimpi-mimpinya

Kumulai merangkai kembali peristiwa-peristiwa yang indah. Peristiwa yang pahit, biarlah mengisi tempat di hati saja, untuk pembelajaran, kutak mau menulisnya, aku hanya ingin merasakan betapa indahnya Karunia Allah, betapa besar kasih sayang Allah . dan nanti, bila air mata ini keluar, air mata kebahagian, air mata rasa syukur pada-NYA, air mata kerinduan. Kalau boleh aku mengutip kata-kata yang di tulis Ipho Santosa dalam bukunya “10 jurus terlarang”  dia menulis.

kita boleh menikmati tangisan asal kita teringat akan impian-ilmpaian yang kita yakini, ketika kita teringat akan nilai nilai yang kita percayai, ketika kita teringat orang–orang yang kita kasihi, ketika kita teringat kesalahan–kesalahan yang kita sesali, maka bukan mustahil menangis menjadi sesuatu yang lumrah dan alamiah. Sama sekali tidak tabu. Akan tetapi, kalaulah kita mengucurkan air mata karena kehilangan, kegagalan, kebuntuan, maka itu adalah sinyal kelemahan” .
di Alinia yang lainnnya masih pada buku yang sama Ipho Santosa menulis

 Menangislah bila harus menangis, demikian cuplikan lirik dari Dewa. Namun sekali lagi bukan sembarang meneteskan iar mata. Sejenak dan sesekali, menangislah demi impian impian, nilai –nilai, orang-orang yang terkasih, dan peenyesalan-penyesalan. Percayalah kita tidak pernah menjadi lemah kerenanya. Justru sebaliknya! Setelah itu, seolah–olah kita memperoleh suatu pencerahan, kelegaan dan kekuatan

 Berpatokan dari pendapat Ipho  Santosa, semoga tangisanku ketika  membaca kembali tulis-tulisanku, atau ketika aku mengetik dan menambahinya dengan foto-foto, tangisanku  bukan tangisan  sebuah kehilangan, bukan tangisan  sebuah  kegagalan, atau bukan tangisan  karena  kasihan pada diri sendiri, melainkan tangis karena rasa syukur, rasa bahagia karena Allah telah menganugerahi karunia yang begitu besar untukku. Sehingga menuntun langkah–langkahku  agar lebih mendekati lagi  kepada-NYA kepada Sang Khalik

 
Itulah sebabnya,  aku tak mau menulis tentang pengalaman yang pahit dalam hidupku. Bukankah Allah juga telah menganugerahi sifat lupa padaku? untuk apa aku  ingat-ingat kalau nantinya aku menangisi dan ujung–ujungnya  aku  merasa orang yang paling menderita? 

“Kan untuk dijadikan pelajaran“. Pasti ada yang berkata demikian.

 Betul untuk dijadikan pelajaran. Tetapi bagiku  tidak  untuk ditulis, apalagi nanti dibaca oleh orang lain. Biarlah pengalaman itu  kutulis dan kupatri dalam sudut ruang tersendiri yang akan kujadikan lahanku beristigfar, lahanku untuk menata diri lebih baik lagi. Kuyakin  Allah Maha Tahu  alasan apa yang  membuatku tidak melakukan itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar