Hari ini tiga belas Oktober dua ribu dua belas. Itu artinya lima puluh tahun lebih dua hari usiaku. Seperti tahun-tahun lalu, kusikapi biasa biasa saja.
Tidak ada yang luar biasa. Kalau ada itu kesadaran diri kalau usia telah
berkurang. Namun, nyatanya tidak bagi suami. Di usia yang tidak muda lagi, dia menghadiahiku
sesuatu yang amat kusuka. Sesesuatu yang akrab dengan kebiasaan kumenulis. Sebuah Notebook.
Dulu, 35 tahun yang lalu, tak
pernah terlintas aku akan menulis pada
sebuah laptop. Impianku waktu itu adalah,
betapa bahagianya kalau memiliki mesin tik. Ternyata Subhanallah, bukan
mesin tik yang kumiliki, namun sebuah notebook, notebook yang dibeli suami
untukku. Mungkin alasan dia menghadiahi benda tersebut karena sudah beberapa
hari ini aku selalu menghabiskan waktu
di depan laptopnya; itu artinya aku membutuhkan barang itu.
Entah apa yang ada dalam
hatinya ketika setiap waktu dia lihat aku
memakai laptopnya. Yang pasti ada sesuatu yang menggerakkan dirinya
untuk menghadiahkan aku sebuah notebook.
Notebook yang tentunya akan menjadi milik pribadiku, notebook yang laksana buku
harian. Dan saat kulanjutkan tulisan inipun,
aku sudah memakai notebook hadiahnya. aku yakin, dia beli dengan sebuah rasa cinta yang besar. Sebuah karunia
Allah yang membuat aku malu tuk berkeluh kesah pada -NYA, “Nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan ?”
Terkadang batinku bertanya.
“Salahkah diusiaku ini yang sudah tidak muda lagi kuhabiskan waktuku dengan kegiatan seperti
ini?, membuat tulisan tentang diri, tentang suami, tentang anak-anak, tentang
murid-muridku ?“.
Tulisannya
sengaja kuformat dengan memasukan
foto-foto yang ada. Atau kubentuk power point, kuselipkan musik agar bisa lebih hidup lagi.. bersamaan
itu suasana lain muncul, suasana yang
menimbulkan kerinduan yang sangat. Dan kalau sudah demikian air mata tak bisa
kutahan, namun bersamaan itu muncul pula rasa lain tentang kesadaran diri, ku tak boleh lengah dari
beribadah kepada Tuhan karena kegiatan
ini, kutak boleh lupa akan jati diri. Makhluk yang lemah, mahluk yang doif
mahluk yang harus selalu
ingat, bahwa ada Allah Sang Pencipta, Allah yang maha Agung, yang maha Lembut,
Allah yang Maha Hidup, Allah yang Maha Indah, Allah Maha Pembentuk, Allah
Maha Pembuka, Allah yang Maha segalanya.
Untuk itu kuluruskan niat menulis. Aku jadikan ini lahanku untuk bertafakur,
untuk menghayati, merasakan, betapa
Rahman dan Rahimnnya Allah, betapa Karunia Allah begitu besar, tak terhitung “ Nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?
Dan
malam ini, aku nikmati sepinya malam dengan mengetik melalui notebook hadiahnya
diatas peraduan. Sementara di sampingku, dia terlelap dalam mimpi-mimpinya
Kumulai merangkai kembali
peristiwa-peristiwa yang indah. Peristiwa yang pahit, biarlah mengisi tempat di
hati saja, untuk pembelajaran, kutak mau menulisnya, aku hanya ingin merasakan
betapa indahnya Karunia Allah, betapa besar kasih sayang Allah . dan nanti,
bila air mata ini keluar, air mata kebahagian, air mata rasa syukur pada-NYA, air
mata kerinduan. Kalau boleh aku mengutip kata-kata yang di tulis Ipho Santosa
dalam bukunya “10 jurus terlarang” dia menulis.
kita
boleh menikmati tangisan asal kita teringat akan impian-ilmpaian yang kita
yakini, ketika kita teringat akan nilai nilai yang kita percayai, ketika kita
teringat orang–orang yang kita kasihi, ketika kita teringat kesalahan–kesalahan
yang kita sesali, maka bukan mustahil menangis menjadi sesuatu yang lumrah dan
alamiah. Sama sekali tidak tabu. Akan tetapi, kalaulah kita mengucurkan air
mata karena kehilangan, kegagalan, kebuntuan, maka itu adalah sinyal kelemahan”
.
di Alinia yang lainnnya
masih pada buku yang sama Ipho Santosa menulis
Menangislah bila harus
menangis, demikian cuplikan lirik dari Dewa. Namun sekali lagi bukan sembarang meneteskan iar mata. Sejenak dan sesekali, menangislah
demi impian impian, nilai –nilai, orang-orang yang terkasih, dan
peenyesalan-penyesalan. Percayalah kita tidak pernah menjadi lemah kerenanya. Justru
sebaliknya! Setelah itu, seolah–olah kita memperoleh suatu pencerahan, kelegaan
dan kekuatan.
Berpatokan
dari pendapat Ipho Santosa, semoga
tangisanku ketika membaca kembali
tulis-tulisanku, atau ketika aku mengetik dan menambahinya dengan foto-foto,
tangisanku bukan tangisan sebuah kehilangan, bukan tangisan sebuah
kegagalan, atau bukan tangisan karena kasihan pada diri sendiri, melainkan tangis karena
rasa syukur, rasa bahagia karena Allah telah menganugerahi karunia yang begitu
besar untukku. Sehingga menuntun langkah–langkahku agar lebih mendekati lagi kepada-NYA kepada Sang Khalik
Itulah sebabnya, aku tak mau menulis tentang pengalaman yang
pahit dalam hidupku. Bukankah Allah juga telah menganugerahi sifat lupa padaku?
untuk apa aku ingat-ingat kalau nantinya
aku menangisi dan ujung–ujungnya aku merasa orang yang paling menderita?
“Kan untuk dijadikan
pelajaran“. Pasti ada yang berkata demikian.
Betul untuk dijadikan pelajaran. Tetapi bagiku
tidak untuk ditulis, apalagi nanti dibaca oleh orang
lain. Biarlah pengalaman itu kutulis dan
kupatri dalam sudut ruang tersendiri yang akan kujadikan lahanku beristigfar,
lahanku untuk menata diri lebih baik lagi. Kuyakin Allah Maha Tahu alasan apa yang membuatku tidak melakukan itu.