Masa lalu begitu jauh untuk kita
rengkuh. Apalagi kembali ke masa itu.
Sesuatu yang sangat mustahil. Namun melalui
sebuah foto dan tulisan, rasanya masa itu menjadi dekat. Ada kenikmatan
tersendiri menkmatinya. Aku orang yang sangat menimati hal itu. Lebaykah? Atau
sentimentilkah ?,biarlah apa penilaian orang . Yang jelas
aku menikmatinya.
Lewat tulisan aku berharap, semoga
di kelak kemudian hari, anak, cucu (Insya Allah kalau Allah mengijinkan memiliki cucu) bisa bernostalgia atau bisa membaca beberapa
halaman dari sekian banyak halaman kehidupan mereka, kehidupan ayah ,mama, kakek dan nenek mereka.
Tentang hal ini aku jadi
ingat sebait tulisan yang ditulis oleh seorang
pengarang yang kukenal lewat facebook Astri Damayanti. Dia menulis,
Ketika berbicara, kata-kata hanya akan
bergaung hingga ke seberang ruangan,
tapi ketika menulis kata kata kita akan bergaung sepanjang jaman”.
Ya aku ingin
tulisan ini bergaung sepanjang jaman. Minimal akan bergaung pada anak dan cucuku
kelak. Sehingga mereka merasakan masa lalu itu begitu dekat.Seolah olah baru
mereka alami. Dan yang utama lagi lewat tulisan ini, aku ingin memaknai semua
yang kualami untuk tafakur pada Allah. Betapa DIA Maha Rahman atas karunia-NYA.
Bagiku suami, anak, sanak
saudara, persahabatan yang tulus, dan
murid-muridku, merupakan harta tak
ternilai. Dari mereka aku mencoba untuk tafakur, untuk IQRO, dan menghayati
betapa besar Karunia-NYA, betapa besar kasih sayang –NYA. Dan dari mereka aku
belajar tentang makna kehidupan yang tidak bisa di temukan di bangku
sekolah.
Jujur saja, tidak semua pengalaman
aku tulis. apalagi hal-hal yang nantinya membuat diri merasa orang yang paling menderita, untuk apa?
Aku takut, bukannnya bersyukur alih alih mengingkari nikmat-NYA. Padahal ni`mat-NYA tak bisa kita
hitung dan tidak bisa kita tulis satu
persatu walaupun seluruh pohon di dunia ini dijadikan pena, dan seluruh air lautan dijadikan tinta tidak akan sanggup
untuk menuliskan karunia-NYA karena sangat banyaknya.
Nikmat
Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Demikian salah bunyi ayat dari surat Ar
Rahman. Yang selalu kuingat agar dalam setiap keadaan apapun, sekalipun itu
musibah atau ujian aku melihatnya dari segi positipnya, berprasangka baik pada-NYA.
Kalau kutulis tentang masa
lalu, bukan berarti aku ingin tenggelam dengan masa itu tampa menghiraukan masa
kini, itu tidak ada artinya.
“ Sebab kehidupan tidak berjalan mundur,
pun
tidak tenggelam di masa lampau”.
demikian Kahlil Gibran berkata
dalam sebait puisinya. Jadi semata-mata
karena aku tidak ingin menghapus jejak dan langkah yang pernah
kulalui, karena aku begitu menghargai persahabatan, persaudaraan yang bagiku
adalah bagian dari karunia-NYA yang harus kusyukuri. Mereka secara langsung
maupun tidak langsung turut andil dalam pembentukan kepribadianku.
Kalau ada sesuatu yang
paling jauh dari kita, itu adalah masa
lampau, dan sesuatu yang paling dekat adalah kematian. Demikian kalimat bijak
yang pernah kudengar. Karena itulah melalui
tulisan dan foto aku berharap yang jauh itu terasa dekat seolah baru saja
terjadi dan sekaligus menyadarkan diri bahwa telah begitu lama berjalan untuk
menuju tujuan yang abadi sambil mengumpulkan perbekalan untuk aku pulang
Saat kutulis tulisan ini,
usiaku telah memasuki angka 51 walau kurang tujuh bulan. Namaku Atjih
Kurniasih. “Bu Atjih “ begitu aku dipanggil oleh siswa-siswaku, rekan guru dan para tetangga. Namun beberapa
sahabatku memannggil “Mbae” sedangkan keponakan dari pihakku memnggil dengan
sebutan “ Mi Atjih” , dan “ bulek Atjih “ ponakan dari suami. Sedangkan
Panggilan yang membuatku begitu damai adalah “ Mama”. Panggilan yang keluar
begitu tulus dari anak-anakku dan suami.
mengenang masa lalu; itu berarti mengingat kembali dimana aku dilahirkan,
dibesarkan. Mengenang kembali kedua orang tua yang sudah almarhum( semoga
mereka diampuni dosanya dan diberikan tempat yang layak disisi-NYA) , mengenang
adik-adik dan kakak-kakak, teman sewaktu kecil, teman sewaktu aku mulai ABG dan
tentunya cinta pertamaku. Aku mulai kisah ini dari sebuah kota kecil di Kuningan
“ Pasapen “
Pasapen di kota kecil itulah
aku dilahirkan dari rahim seorang ibu “ Erum TedjaWiratna. Bidan Pomo yang
membantu kelahiranku. Sebelas Oktober seribu sembilan ratus enam puluh dua.
Aku anak ke tiga dari lima
bersaudara. Kakak tertuaku Slamet Utandri namun kami biasa memanggil Aa Enceng.
Saat kutulis tulisan ini dia sudah almarhum ( semoga Allah mengampuni
dosa-dosanya dan mendapat tempat yang layak disisinya), sedang kakakku yang
kedua Nani Amaliah kami memanggilnya Ceu Nani. Dua adikku masing masing Wiwi Gustiwi ( saat kutulis
tulisan ini aku kehilangan kontak dengannnya, dan jarang bersilahturahmi ini
yang membuatku sedih. Dia sulit kuhubungi ) dan adik bungsuku Ucu Yuningsih
saat kutulis tulisan ini dia baru saja melahirkan seorang anak.
Masa kecilku dilalui di dua
tempat. Sampai sekitar usia delapan tahun di Panauan. Tidak banyak yang kuingat
masa itu, selain pernah tinggal disebuah desa kecil di Kuningan ‘” Panauan”.
Tinggal bersama Mimi ( sebutan aku pada ibu), bapak serta wiwi adiku. Sedangkan
adik bungsuku yang aku ingat saat dia dilahirkan saja. Selebihnya tidak ada
kenangan masa kecil dengannya (setelah besar aku baru tahu kalau adik bungsuku
di pelihara ibu tiriku karena beliau tidak memiliki anak ) Sedangkan kedua
kakakku tinggal juga dengan ibu tiri. ( inipun kuketahui setelah aku besar), ma
Tiya paman dari anak paman ibuku.(bagaimana kabar dia sekarang?). serta dongengan sang nenek yang biasa aku
panggil dengan sebutan “Emak”.
Emak (emak dari ibuku) kalau
beliau berkunjung dan menginap selalu tidur bersamaku dan seperti biasa, aku menagih beliau untuk berdongeng sebelum
tidur. Samar kuingat salah satu dongengnnnya tentang seekor binatang (aku lupa
nama binatangnya) yang memiliki tiga anak. Dan ketika dia pergi kehutan
berpesan kepada tiga anaknya untuk berhati hati terhadap serigala kalau datang
ketempat mereka. Aku lupa kelanjutan ceritanya yang jelas dengan kecerdikan
ketiga ekor anak binatang itu serigala bisa mereka kelabui dan mereka kalahkan.
Kenangan itu tak terlupa walau samar kuingat. dan mungkin ada pengaruhnya dalam
pembentukan kepribadianku, dan kucoba terapkan terhadap anak-anaku sewaktu
mereka kecil walau tidak konsisten melakukannnya.
Selain dongengan sang emak,
kenangan lain di panaun adalah rumahku begitu besar, dengan halaman ditumbuhi
pohon sirsak dan rambutan. Selain itu
ada kolam ikan yang di daerahku disebut dengan balong ( ternyata rumah yang
kudiami adalah rumah kantor karena bapak menjabat penilik sekolah) . Seperti layaknya anak-anak
akupun mengalami masa bermain, bermain karet, dan bermain hanya sayang tak satupun nama temanku saat itu
yang aku ingat.
Sedangkan Mimi, kenangan yang kuingat di Panauan adalah dia
seorang ibu yang rajin membuat kue. Ilmu membuat kue yang didapat dari sekolahnya
karena beliau beruntung pada masa gadisnya sudah bersekolah di sekolah
kepandaian putri. Masih ingat dalam ingatan bagaimana mimi di bantu ma Tia
mengocok adonan dengan manual berhubung mixer belum ada pada jamannnya. Dan kenangan
lain tentang beliau di Panauan adalah sering kulihat sakit dan terbaring di
tempat tidur. Entah apa sebabnya yang kutahu setelah aku dewasa kutemukan jawabannnya
itupun berdasarkan analisaku sendiri
Suatu hari ada Truk besar
parkir di halaman rumah, sementara bapak dan para tetangga mengeluarkan
barang-barang untuk dimasukkan kedalam truk. . Ya hari itu di tahun 1970 itu kami ( aku, bapak, Mimi, dan adikku Wiwi )
pindah ke jakarta dengan alasan yang sampai saat ini aku tidak mengetahuinya.
Yang jelas adik bungsuku yang masih bayi
beserta kedua kakakku tidak turut dengan kami. Mereka ternyata menyusul pada waktu yang lain
sedangkan adik bungsuku tetap di pelihara oleh ibu tiri sampai dia dewasa
bersamaan saat dia baru tahu kalau Mimi
adalah ibu kandungnya.
Kenangan Masa
Kecil di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar